INDONESIA DAN G-20
|
|
|
|
|
Tuesday, 29 September 2009 13:19
|
||||
Oleh: Antonio
Carceres
Pertemuan akbar Kelompok 20 membuat keputusan penting, peneguhan perannya menjadi lembaga pengganti G-8 di bidang ekonomi. Keputusan itu amat luar biasa, apalagi terkait keikutsertaan Indonesia dalam lembaga nonformal global itu. Maka, G-20 akan menjadi lembaga yang akan terus masuk ”radar” pelaku ekonomi di seluruh dunia sehingga negara mana pun yang termasuk di dalamnya pasti akan mendapat perhatian besar dari mereka. Peneguhan peran itu mencuatkan G-20 sebagai kelompok yang dinilai lebih penting dibandingkan dengan kelompok negara kaya yang termasuk dalam OECD. Semula, pemilihan anggota G-20 dilakukan secara arbitrer. Bagi Indonesia, keikutsertaan dalam lembaga itu merupakan berkah karena saat lembaga tersebut terbentuk tahun 1999, sebetulnya Indonesia masih pada titik nadir. Keadaan itu amat berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini.
Kini, kita mungkin bisa mengatakan, Indonesia
layak menjadi anggota lembaga itu karena besarnya perekonomian kita memenuhi
persyaratan tersebut. Bahkan, dari 20 anggota G-20, satu di antaranya berupa
kelompok negara yang tergabung dalam Uni Eropa, saat ini Indonesia bukanlah
yang terkecil. Di bawah Indonesia ada Arab Saudi, Afrika Selatan, dan
Argentina. Meski demikian, pada tahun 1999, Indonesia belum sampai pada
kapasitas seperti itu.
Dengan diteguhkannya peran G-20, kian nyata prediksi Pricewaterhouse Coopers beberapa tahun lalu ihwal akan menguatnya peran negara-negara yang tergabung dalam Emerging 7 (E-7) yang pada masa mendatang akan melampaui peran negara-negara G-7. Negara yang termasuk E 7 adalah BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China), ditambah Indonesia, Meksiko, dan Turki. Selain itu, ada negara lain yang tidak termasuk kedua kelompok itu, yaitu Australia, Korea, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Argentina. Perekonomian global Cukup lama Indonesia hanya dalam periferi perekonomian global. Keberadaan kita ”nyaris tak terdengar”. Karena itu, elevasi peran G-20 ini menjadikan Indonesia akan selalu dalam ”radar” pelaku ekonomi global. Keadaan semacam itu amat penting karena tanpa harus berpromosi ke sana kemari, keberadaan kita serta-merta diakui dunia. Saat Goldman Sachs, sebuah bank investasi berskala global dari AS, menerbitkan studi berjudul Dreaming with the BRIC, ternyata studi itu berhasil menempatkan keempat negara tersebut dalam ”radar” investor global sehingga akhirnya investasi dari segala penjuru ramai memasuki pasar keempat negara itu. Dengan peneguhan peran G-20 itu, selain memberi perhatian kepada target pasar dan investasi tradisional, para pengusaha di seluruh dunia akan mencari tempat-tempat baru yang eksposurnya masih terbatas. Dalam kaitan ini Indonesia amat diuntungkan karena dari negara yang semula memiliki eksposur terbatas tiba-tiba melejit sebagai kekuatan ekonomi yang patut diperhitungkan. Atas perkembangan itu, merupakan hal menarik mengikuti berita terakhir di bidang investasi di mana Chrysler, perusahaan mobil ketiga terbesar dari AS yang saat ini dimiliki Fiat, baru saja memutuskan mendirikan keagenan resmi bagi pasar di Indonesia. Keputusan itu menyusul dua perusahaan AS sebelumnya, General Motor dan Ford. Keputusan itu memang tidak sesignifikan investasi baru dengan membangun pabrik di Indonesia, tetapi dengan keputusan itu, babak baru telah dimulai bagi perusahaan otomotif AS di pasar Indonesia. Tuntutan peran Indonesia Dalam keikutsertaan dengan G-20, banyak tuntutan dilayangkan kepada pemerintah agar mampu mengisi kesempatan itu dengan peran lebih aktif. Tuntutan ini wajar-wajar saja. Meski demikian, kita perlu memberi waktu memadai bagi pengembangan kemampuan oleh pemerintah. Dewasa ini Indonesia memiliki seorang menteri yang mampu bermain dalam skala global semacam itu, yaitu Menteri Perdagangan Mari Pangestu. Meski demikian, peran itu harus didukung tim amat kuat di sejumlah departemen dan kementerian, terutama di Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan. Karena itu, kedua departemen tersebut perlu menyiapkannya dan jika perlu dibantu satu-dua konsultan yang amat berpengalaman. Proses kaderisasi mutlak diperlukan. Sementara itu, banyak personalia dari dunia usaha yang bisa diperbantukan dalam tim tersebut karena merekalah yang sebetulnya paling tahu kelebihan dan kekurangan dunia usaha kita. Pembangunan tim semacam ini seyogianya jangan terganggu siklus anggaran sehingga mereka mampu menghindarkan diri dari kelemahan struktural, yaitu kekurangan dana. Dengan tim yang dibangun seperti ini, bisa diyakini, beberapa tahun ke depan kita akan memiliki kemampuan bernegosiasi dengan negara lain, secara bilateral maupun multilateral. Untuk lebih mengoptimalkan keberadaan kita dalam lembaga semacam itu, apa yang pernah dikembangkan Menteri Perdagangan tahun 1988 patut dipertimbangkan kembali, yaitu terbangunnya sinergi antara dunia usaha dan pemerintah yang secara populer disebut sebagai Indonesian Incorporated. Dunia usaha Indonesia dewasa ini sudah kian matang dalam memosisikan mereka dalam pasar global. Pemerintah bisa memanfaatkan posisi itu dalam pengembangan kemampuan diplomasi ekonomi, sementara dunia usaha akan dapat memetik hasil dari terbangunnya jaringan bisnis yang lebih luas lagi. |
Pemimpin G-20 Janjikan Regulasi Ketat
|
|
|
|
|
Sunday, 27 September 2009
|
||||
Negara-Negara
Berkembang Dapat Tambahan Hak Suara di IMF
PITTSBURGH - Para pemimpin dunia Jumat lalu waktu Amerika Serikat (25/9) atau kemarin WIB (26/9) meluncurkan suatu visi baru terkait tata kelola ekonomi global. Visi itu berupa rencana berani untuk memperbaiki berbagai ketidakseimbangan global dan juga memberikan pengaruh lebih besar pada raksasa ekonomi baru, seperti Tiongkok dan India. Hal itu terjadi di forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 20 negara industri dan berkembang (G-20) di David L. Lawrence Convention Center, Pittsburgh, Pennsylvania, AS. KTT yang secara resmi berakhir kemarin WIB itu memiliki komitmen untuk mengalihkan hak suara (voting rights) di IMF (Dana Moneter Internasional) minimal lima persen pada negara-negara berkembang dan emerging nations. Dengan hak suara itu, mereka dapat tugas untuk memainkan peran monitoring lebih luas terhadap lembaga multilateral IMF. Saat ini, negara-negara industri maju menguasai sekitar 57 persen hak suara di IMF. Sedangkan 43 persen lainnya dimiliki negara-negara berkembang. Pengalihan minimal lima persen hak suara juga akan berlaku di Bank Dunia (World Bank). “The Fund (IMF, red) harus memainkan peran yang kritis dalam mempromosikan stabilitas finansial global dan menyeimbangkan kembali pertumbuhan,” bunyi pernyataan terakhir para pemimpin G-20. Keputusan itu sekaligus melengkapi pengumuman sebelumnya bahwa G-20 telah dipromosikan sebagai pengganti G-8 (kelompok delapan negara industri maju dan kaya) menjadi forum ekonomi utama dunia. Dengan demikian, pertemuan dua hari di Pittsburgh telah menghasilkan perubahan besar dalam diplomasi ekonomi global. Presiden Barack Hussein Obama, yang menjadi tuan rumah KTT, mengungkapkan bahwa G-20 telah menyepakati reformasi sangat penting yang akan menciptakan arsitektur ekonomi global di abad 21. “Kita akan menghadirkan transparansi lebih luas ke pasar derivatif. Kita akan memperkuat standar kapital nasional pula sehingga sektor perbankan bisa bertahan dari kerugian besar dan mampu mengatasi risiko yang mereka hadapi,” kata Obama. Menurut Obama, G-20 juga akan menciptakan perangkat yang lebih digdaya untuk mmepertahankan dan menjaga berbagai perusahaan finansial global tetap akuntabel. Selain itu, akan disusun prosedur-prosedur untuk mengelola kebangkrutan perusahaan finansial global tersebut tanpa membebani pembayar pajak. Perdana Menteri (PM) India Manmohan Singh menyambut baik keputusan untuk menggantikan G-8 dengan G-20. Dia menilai G-8 tidak lagi layak untuk mengawasi ekonomi global di era modern saat ini. “Dengan bangkitnya Asia, serta dengan tingkat pertumbuhan India, Tiongkok, dan Brazil, pembuatan keputusan ekonomi (dunia) harus diselaraskan pula dengan negara-negara itu agar berdampak optimal,” ujar Singh, yang mewakili negaranya di KTT G-20. Pernyataan positif juga disampaikan oleh Presiden Tiongkok Hu Jintao merespons kesepakatan dalam KTT G-20. “Negara-negara ekonomi maju maupun berkembang sepatutnya mengambil langkah-langkah lebih kompak dan efektif serta berupaya lebih keras untuk mendongkrak konsumsi dan juga memperluas permintaan domestik,” paparnya. KTT pada 24-25 September itu sengaja diadakan di Pittsburgh, yang pernah dikenal sebagai kota baja di AS, karena dianggap sebagai contoh atau model sukses transformasi ekonomi. Tetapi, pengumuman terbesar di forum tersebut terkait dengan G-20 itu sendiri. “Para pemimpin menyepakati G-20 sebagai forum utama untuk mempromosikan kerja sama ekonomi internasional,” bunyi pernyataan dari Gedung Putih. “Keputusan ini sangat diperlukan untuk membangun ekonomi global yang lebih kuat dan seimbang, serta mereformasi sistem financial, dan mengangkat harkat kehidupan warga miskin.” Sebelumnya, G-8 --beranggotakan negara-negara kaya atau industri maju, seperti Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, dan Amerika Serikat (AS)-- menjadi forum ekonomi global utama sejak 1975. Forum itu juga mengadakan pertemuan puncak setiap tahun. Para pemimpin G-20 juga mengambil pelajaran penting dari krisis finansial global yang terjadi sejak Agustus tahun lalu. Mencegah terulangnya krisis itu, yang memicu resesi ekonomi, para pemimpin dunia berjanji mewujudkan tatanan global baru. Mereka bertekad mewujudkan regulasi finansial lebih ketat dan tata kelola lebih inklusif untuk melindungi dunia dari ancaman krisis lebih buruk di masa depan. KTT mengingatkan bahwa recovery tetap rentan. Karena itu, disepakati soal perlunya mempertahankan program stimulus, termasuk belanja pemerintah dan menjaga tingkat suku bunga rendah, di setiap negara. “Agar bisa melangkah ke depan, kita tidak bisa lagi menoleransi model ekonomi yang sama seperti di masa lalu,” tegas Obama saat berbicara menjelang penutupan KTT. “Kita tak mungkin tumbuh hanya dengan berpuas diri. Kita tidak mungkin menunggu krisis lagi untuk bekerja sama,” serunya. “Sistem kerja sama ekonomi internasional yang lama sudah berlalu. Sistem baru telah dimulai hari ini,” ujar PM Inggris Gordon Brown. “Terbukti jelas bahwa tanpa G-20 dan juga tanpa 12 negara lainnya, G-8 kini tak mampu memikul tugas ekonomi dunia,” tambah Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Setelah berakhirnya KTT di Pittsburgh, Presiden Korsel Lee Myung-bak mendapat giliran menjadi tuan rumah. KTT G-20 berikutnya akan berlangsung di Negeri Ginseng itu pada November 2010.(AP/AFP/dwi) |
Ekonomi
INILAH.COM, Jakarta
� Pertemuan G20 pada Kamis (2/4) diyakini mampu menghasilkan keputusan penting
atas kontraksi ekonomi global yang terjadi saat ini. Salah satunya adalah
membubarkan lembaga-lembaga hedge fund
yang dinilai mandul.
M Ikhsan Modjo, Direktur Institute for Development of
Economics and Finance (Indef) menilai, lembaga keuangan internasional seperti
IMF dan Bank Dunia saat ini sudah tidak ada gunanya lagi bagi negara berkembang
seperti Indonesia. Kedua lembaga itu
dinilai Modjo hanya membela kepentingan AS, yang mempunyai otoritas besar di
sana.
"Semua
lembaga itu sekarang diatur oleh Amerika, karena itu tidak terlalu berguna.
Negara-negara yang tergantung terhadap IMF dan Bank Dunia malah semakin besar
pengangguran dan kemiskinannya," katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, kemarin.
Kendati
demikian, Modjo optimistis G20 bisa merestrukturisasi lembaga-lembaga keuangan
dunia itu. Bukan hanya mengubah kebijakan IMF dan World Bank, bisa juga
sekaligus mengganti kedua lembaga itu dengan lembaga keuangan internasional
yang baru dan lebih adil (fair).
"Anggota
G20 dalam pertemuan ini memiliki kekuatan untuk membubarkan World Bank dan IMF
jika semua anggotanya sepakat," tegasnya. Seperti diketahui, pertemuan KTT
di Exhibition Center London (EXcel) ini, merupakan tindak lanjut dari rapat
tingkat menteri keuangan pada awal Maret lalu.
Ketika itu
diputuskan bahwa setiap negara harus menyediakan stimulus fiskal minimum 2%
dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini menjadi solusi untuk menahan
kontraksi ekonomi dunia dan menghindari tekanan hebat seperti depresi besar di
1933.
Indonesia,
lanjut Ikhsan, melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya berani
menyuarakan kepentingan Indonesia terhadap negara-negara maju dalam pertemuan
tersebut. Seperti menyepakati bentuk pinjaman baru, sehingga pinjaman Indonesia
tidak terus tergantung ke Amerika melalui IMF dan Bank Dunia.
Kesepakatan
mengenai upaya melakukan koreksi dan pengawasan terhadap kebijakan dan
peraturan lembaga-lembaga keuangan, terutama IMF, World Bank, dan ADB, ternyata
mengemuka menjelang pertemuan ini.
Misalkan saja
Jerman dan Prancis yang dengan tegas meminta agar tidak ada lembaga keuangan
yang tidak diawasi. Selain permintaan agar ada pengawasan terhadap
negara-negara yang menerapkan tax heaven.
Sedangkan isu lain terkait reformasi dan penambahan jumlah
resources (dana) dari institusi moneter untuk membantu negara-negara berkembang
dan miskin. Bank Dunia sudah menyiapkan dana senilai US$ 50 miliar untuk
mengatasi penurunan perdagangan global.
Namun ada pesimisme hasil KTT G20 ini tidak maksimal
karena beberapa negara kuat Eropa belum sepakat dengan solusi stimulus yang
diusulkan. IMF, World Bank, dan ADB pun belum mengumumkan jumlah dana pasti
terkait hal ini.
Isu terakhir
adalah tentang perbedaan antara negara-negara G20 dalam melakukan koordinasi
pemulihan ekonomi global. Ada dua blok dalam hal ini, yaitu kelompok AS,
Inggris, dan Jepang, yang menginginkan kebijakan stimulus fiskal secara agresif
dan cepat. Kelompok lainnya adalah Jerman, Prancis, dan Italia yang lebih
memilih berhati-hati dan sesuai kepentingan dalam upaya penetapan stimulus itu.
Di sisi lain, Uni Eropa berpendapat, seberapa banyak pun
dana diguyur ke pasar, hal itu tidak akan mengatasi masalah krisis global saat
ini. Mantan mahaguru spekulan, George Soros, pun sudah berkali-kali
mengingatkan, pengguyuran dana di pasar hanya memicu aksi-aksi spekulasi, yang
membuat suntikan dana dari sejumlah bank sentral menjadi sia-sia.
Lawrence Summers, Penasihat Ekonomi Presiden Obama,
sebelumnya di Washington, mendukung keinginan UE untuk penciptaan sebuah
pengaturan sektor keuangan global.
Hal itu tidak saja penting untuk mengamankan aksi
spekulasi liar bank-bank gelap dan hedge fund, tetapi juga menertibkan
negara-negara safe haven seperti Swiss yang menjadi markas dan pelindung
spekulan serta markas para penghindar pembayaran pajak. [E2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar