Halaman

Jumat, 20 April 2012

Analisis Pendapatan Nasional

Analisis Pendapatan Nasional

ANALISIS PENDAPATAN NASIONAL UNTUK PEREKONOMIAN TERTUTUP
SEDERHANA DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

1. Ekonomi Sederhana (Tertutup)
Dengan asumsi tidak adanya ekspor dan impor dan tidak ada pemerintah maka komponen permintaan agregat (aggregate demand) atau output sama dengan konsumsi (dengan notasi C) ditambah dengan investasi (dengan notasi I).
Y = C + I (1)
Seperti telah disebut diatas output, Y sama dengan income. Persamaan (1) diatas artinya bahwa output yang diproduksi oleh ekonomi sama dengan aggregate demand dimana aggregate demand ini terdiri dari konsumsi dan investasi. Output ini juga sama dengan income yang diterima oleh seorang pelaku ekonomi (misalnya pengusaha) dan digunakan sebagian untuk konsumsi dan sisanya akan digunakan untuk belanja barang modal guna melanjutkan proses produksi berikutnya, belanja ini dikategorikan sebagai investasi untuk memproduksi barang dan jasa selanjutnya. Dengan demikian income (output) dari sisi produsen digunakan untuk konsumsi (C) dan sisanya diinvestasikan (I). Dari sisi alokasi income atau konsumen maka income yang didapat akan digunakan sebagian besar untuk konsumsi dan sisanya akan ditabungkan (S), hal ini karena konsumen tidak mempunyai usaha sendiri seperti halnya dengan produsen sehingga formula (1) diatas dapat ditulis sebagai berikut:
Y = C + S (2)
Bila kedua persamaan diatas digabung maka didapat
C + I = Y = C + S (3)
Persamaan sebela kiri adalah komponen aggregate demand atau output dan sebelah kanan adalah aloksi atau penggunaan income. Atau output yang diproduksi sama dengan output yang dijual dan sama dengan income yang diterima. Income yang diterima digunakan untuk konsumsi dan sisanya ditabung. Persamaan diatas akhirnya menjadi:
I = S (4)
Saving sama dengan investasi, artinya sumber dana untuk investasi berasal dari tabungan. Dari sisi aggregate, konsumen atau private sektor tidak melakukan investasi sendiri terhadap uangnya yang berlebih tetapi pada umumnya akan menyimpan uangnya di Bank sebagai tabungan (S) dan bank akan menyalurkan dana tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan berupa kredit usaha atau investasi (I). Dari sisi individual saving yang dilakukan oleh konsumen tidak berarti akan langung dialoksikan kepada kegiatan produktif (productive investment), karena keterbatasan yang dimiliki oleh konsumen sehingga mereka memerlukan jasa perbankan untuk melakukan kegiatan tersebut.
2. Konsumsi dan Investasi
Apabila tabungan berjumlah cukup besar, maka akan digunakan untuk kegiatan menghasilkan kembali barang dan jasa yang diperlukan konsumen. Dengan kata lain, tabungan akan digunakan melakukan investasi. Bila digambarkan dengan rumus, maka akan didapat rumus berikut ini :
Y = C + S
Y = C + I sehingga I = S
Faktor – faktor yang mempengaruhi besar investasi anatara lain:
1. Tingkat bunga. Kenaikan tingkat bunga akan mempengaruhi keinginan untuk berinvestasi, dan sebaliknya.
2. Jumlah permintaan. Semakin besar jumlah permintaan konsumen terhadap barang dan jasa, keinginan untuk melakukan investasi juga semakin besar.
3. Perkembangan teknologi. Kemajuan teknologi juga akan meningkatkan keinginan untuk berinvestasi, karena teknologi yang maju akan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan jumlah keuntungan.
Pengaruh Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengangguran di Indonesia
Salah satu titik awal kelahiran ilmu ekonomi makro adalah adanya permasalahan ekonomi jangka pendek yang tidak dapat diatasi oleh teori ekonomi klasik. Masalah jangka pendek ekonomi tersebut yaitu inflasi, pengangguran dan neraca pemba-yaran. Munculnya ekonomi makro dimulai dengan terjadinya depresi ekonomi Amerika Serikat pada tahun 1929. Depresi merupakan suatu malapetaka yang terjadi dalam ekonomi di mana kegiatan produksi terhenti akibat adanya inflasi yang tinggi dan pada saat yang sama terjadi pengangguran yang tinggi pula.
Inflasi (inflation) adalah gejala yang menunjukkan kenaikan tingkat harga umum yang berlangsung terus menerus. Dari pengertian tersebut maka apabila terjadi kenaikan harga hanya bersifat sementara, maka kenaikan harga yang sementara sifatnya tersebut tidak dapat dikatakan inflasi. Semua negara di dunia selalu menghadapi permasalahan inflasi ini. Oleh karena itu, tingkat inflasi yang terjadi dalam suatu negara merupakan salah satu ukuran untuk mengukur baik buruknya masalah eko-nomi yang dihadapi suatu negara. Bagi negara yang perekono-miannya baik, tingkat inflasi yang terjadi berkisar antara 2 sampai 4 persen per tahun. Tingkat inflasi yang berkisar antara 2 sampai 4 persen dikatakan tingkat inflasi yang rendah. Selanjut tingkat inflasi yang berkisar antara 7 sampai 10 persen dikatakan inflasi yang tinggi. Namun demikian ada negara yang meng-hadapai tingkat inflasi yang lebih serius atau sangat tinggi, misalnya Indonesia pada tahun 1966 dengan tingkat inflasi 650 persen. Inflasi yang sangat tinggi tersebut disebut hiper inflasi (hyper inflation).
Didasarkan pada faktor-faktor penyebab inflasi maka ada tiga jenis inflasi yaitu: 1) inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) dan 2) inflasi desakan biaya (cost-push inflation) 3) inflasi karena pengaruh impor (imported inflation). Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) atau inflasi dari sisi permintaan (demand side inflation) adalah inflasi yang disebabkan karena adanya kenaikan permintaan agregat yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan. Karena jumlah barang yang diminta lebih besar dari pada barang yang ditawarkan maka terjadi kenaikan harga. Inflasi tarikan permintaan biasanya berlaku pada saat perekonomian mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan eko-nomi berjalan dengan pesat (full employment and full capacity). Dengan tingkat pertumbuhan yang pesat/tinggi mendorong peningkatan permintaan sedangkan barang yang ditawarkan tetap karena kapasitas produksi sudah maksimal sehingga mendorong kenaikan harga yang terus menerus.
Inflasi desakan biaya (Cost-push Inflation) atau inflasi dari sisi penawaran (supply side inflation) adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan tingkat produktivitas dan efisiensi, sehingga perusahaan mengurangi supply barang dan jasa. Pening-katan biaya produksi akan mendorong perusahaan menaikan harga barang dan jasa, meskipun mereka harus menerima resiko akan menghadapi penurunan permintaan terhadap barang dan jasa yang mereka produksi. Sedangkan inflasi karena pengaruh impor adalah inflasi yang terjadi karena naiknya harga barang di negara-negara asal barang itu, sehingga terjadi kenaikan harga umum di dalam negeri.
Pengangguran, Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa pada saat terjadinya depresi ekonomi Amerika Serikat tahun 1929, terjadi inflasi yang tinggi dan diikuti dengan pengangguran yang tinggi pula. Didasarkan pada fakta itulah A.W. Phillips mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Dari hasil pengamatannya, ternyata ada hubungan yang erat antara inflasi dengan tingkat pengangguran, dalam arti jika inflasi tinggi, maka pengangguran akan rendah. Hasil pengamatan Phillips ini dikenal dengan kurva Phillip.
Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal tersebut disebabkan karena, pertambahan tenaga kerja baru jauh lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan
setiap tahunnya. Pertumbuhan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja menimbulkan pengangguran yang tinggi. Pengangguran merupakan salah satu masalah utama dalam jangka pendek yang selalu dihadapi setiap negara. Karena itu, setiap perekonomian dan negara pasti menghadapi masalah pengangguran, yaitu pengangguran alamiah (natural rate of unemployment).
Pada tahun 1980-an, pengangguran terbuka di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 1,7 persen pada tahun 1980 menjadi 3,2 persen pada tahun 1990. Pertumbuhan pengangguran di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan, yaitu meningkat dari 2,8 persen pada tahun 1980 menjadi 6,1 persen pada tahun 1990. Sebaliknya tingkat pengangguran di pedesaan menurun secara drastis yaitu dari 1,4 persen menjadi 0,1 persen.
Dari sisi pendidikan, tingkat pengangguran selama periode 1980 – 1990 pada semua tingkat pendidikan memper-lihatkan kecenderungan yang meningkat. Seterusnya, tingkat angkatan kerja berpendidikan di bawah Sekolah Dasar yang menganggur paling rendah sedangkan yang berpendidikan tinggi adalah yang paling tinggi, yaitu meningkat dari 1,8 persen pada 1980 menjadi 15,9 persen pada 1990.
Selanjutnya, tingkat pengangguran di kota Indonesia selama periode 1971-1980 relatifnya rendah dan memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Menurut Manning (1984: 1-28), kadar pengangguran rendah ini disebabkan karena: (a) besarnya kemampuan sektor informal menyerap, bahkan menarik sejum-lah besar penganggur, (b) tingkat investasi pemerintah yang tinggi dalam projek pembangunan dan prasarana sosial (sekolah, klinik kesehatan dan lain-lain), dan (c) pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi dan adanya peluang pekerjaan baru di luar bidang usaha tani di pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar