Halaman

Kamis, 31 Mei 2012

DAMPAK DESENTRALISASI KEUANGAN PUBLIK TERHADAP MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH

DAMPAK DESENTRALISASI KEUANGAN PUBLIK TERHADAP MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH

Dasar Hukum :
- UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat & Pemerintah Daerah
- UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
- UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
- UU No.15 tahun 2005 tentang Pemeriksaan Pengelolaan & Tanggung Jawab Keuangan Negara
PENGERTIAN DESENTRALISASI
-> Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL
a. Meningkatkan efisiensi pelayanan publik;
b. Mengakomodasi aspirasi masyarakat;
c. Memperbaiki struktur fiskal (APBD);
d. Mobilisasi sumber-sumber keuangan (PAD);
e. Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi;
f. Mengurangi disparitas fiskal antardaerah;
g. Menjamin penyediaan pelayanan dasar sosial;
h. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat;
i. Menstimulasi perekonomian dan investasi di daerah
PRINSIP DASAR DESENTRALISASI
Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah “MONEY FOLLOWS FUNCTION”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber penerimaan kepada daerah. Dalam hal ini, maka sumber-sumber penerimaan negara yang sebelumnya ada di Pusat juga harus sebagian diturunkan ke Daerah. Hal inilah yang selanjutnya disebut sebagai desentralisasi fiskal.
Implementasi konsepsi “Money follows function” berdasarkan UU 25/1999 dilakukan dengan memberikan sumber-sumber pembiayaan yang (jauh) lebih besar kepada Daerah. Kewenangan untuk mengoptimalkan sumber keuangan Daerah sendiri dilakukan melalui peningkatan kapasitas PAD, sedangkan perimbangan keuangan dilakukan melalui pengalokasian Dana Perimbangan.

POLA PEMBIAYAAN

Dengan diberlakukannya UU di bidang otonomi Daerah, maka pada dasarnya pola pembiayaan di Daerah pada dasarnya terbagi ke dalam 3 (tiga) scheme, yaitu:

a. Pola Pembiayaan Desentralisasi;
b. Pola Pembiayaan Dekonsentrasi; dan
c. Pola Pembiayaan Tugas Pembantuan.

Secara konseptual, dasar pelaksanaan ketiga pola pembiayaan tersebut diatas adalah sebagai berikut:

a. Desentralisasi -> kewenangan telah diserahkan sepenuhnya menjadi kewenangan Daerah dan pembiayaannya diambilkan dari sumber-sumber penerimaan Daerah yang ada. Sumber-sumber penerimaan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi telah diatur secara tegas dalam UU 25/1999, yaitu PAD, Dana Perimbangan (Bagi Hasil, DAU, dan DAK), Pinjaman Daerah, dan Lain-lain Penerimaan Yang Sah. Dengan demikian untuk pembahasan mengenai desentralisasi ini akan lebih banyak


berbicara tentang apa dan bagaimana Daerah melaksanakan kewenangan-kewenangan yang ada padanya.
b. Dekonsentrasi dan atau Tugas Pembantuan -> kewenangan adalah kewenangan Pusat yang selanjutnya dilaksanakan oleh Daerah dengan pembiayaan tetap dari Pusat (APBN). Dengan demikian pembahasan mengenai dekonsentrasi dan tugas pembantuan akan didominasi oleh apa dan bagaimana Pusat mengelola kewenangan yang ada padanya untuk dilaksanakan oleh Daerah sesuai kemampuan dan kebutuhan serta kepentingan dari Pusat dan Daerah.

SUMBER PENERIMAAN DAERAH

A. Pendapatan Daerah :
- Pendapatan Asli Daerah (PAD)
- Dana Perimbangan, meliputi : Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP&SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), & Dana Alokasi Khusus (DAK)
- Lain-lain pendapatan
B. Pembiayaan :
- Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah
- Penerimaan Pinjaman Daerah
- Dana Cadangan Daerah
- Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan.

DANA BAGI HASIL (DBH)

Yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk medanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Sumber Dana :
- Penerimaan Negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
- Penerimaan Negara dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Daerah.
- 10% (sepuluh persen) penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan 20% (dua puluh persen) penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang menjadi bagian dari penerimaan Pusat dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota .
- Penerimaan Negara dan sumber daya alam sektor kehutanan, sektor pertambangan umum, dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
- Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebagai berikut :

a. Penerimaan Negara dan pertambangan minyak bumi yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan imbangan 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah Pusat dan 15% (lama belas persen) untuk Daerah.
b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas alam yang berasal dari wilayah Daerah setelah dikurangi komponen pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dibagi dengan imbangan 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah Pusat dan 30% (tiga puluh persen) untuk Daerah.

DANA ALOKASI UMUM (DAU)

Yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
a. Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN.
b. Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi dan untuk daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari Dana Alokasi sebagaimana disebutkan di atas.
c. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan diantara daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan pada perubahan tersebut.
d. Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah Provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Provinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Provinsi yang bersangkutan.
e. Porsi Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada (d) merupakan proporsi bobot semua daerah Provinsi di seluruh daerah Indonesia.
f. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh Daerah Kabupaten Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
g. Porsi Daerah Kabupaten/KOta sebagaimana dimaksud pada (f) merupakan proporsi bobot semua Daerah Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia.
h. Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan :
a. kebutuhan wilayah Otonomi Daerah;
b. potensi ekonomi Daerah.
i. Perhitungan Dana Alokasi Umum berdasarkan rumus sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
Yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah & sesuai dengan prioritas nasional.
*Kebutuhan Khusus yang dimaksud adalah:
a. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dan/atau
b. kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud di atas termasuk yang berasal dari dana reboisasi.
- Dana reboisasi dibagi dengan imbangan:
a. 40% (empat puluh persen) dibagi kepada daerah penghasil sebagai Dana Alokasi Khusus.
b. 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah Pusat.
Kecuali dalam rangka reboisasi, Daerah yang mendapat pembiayaan Kebutuhan Khusu sebagaimana dimaksud pada (*) menyediakan dana pendamping dari APBD sesuai dengan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
IMPLIKASI KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL
- Meningkatnya penyerahan sumber-sumber Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang di implementasikan dalam bentuk transfer belanja APBN ke daerah.
- Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusu (tax assignment) & kewenangan bagi hasil penerimaan (revenue sharing).
- Kepada Daerah juga diberikan bantuan keuangan sebagai sumber dana bagi APBD.
KESIMPULAN
1. Melalui mekanisme pemberian DBHP & DBHSDA
2. Melalui mekanisme pemberian DAU, dapat disimpulkan bahwa;
a) Hanya daerah pusat industri & jasa yang diuntungkan dengan kebijakan DBHP. Dan hanya daerah yang kaya SDA yang menikmati peningkatan pertumbuhan ekonomi.
DAU berfungsi sebagai pemerata fiskal daerah juga merupakan faktor yang paling dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Kebijakan DAU sangat efektif dalam mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar