Halaman

Senin, 04 Februari 2013

Ekonomi Politik Internasional


Ekonomi Politik Internasional

Neoliberalisme adalah reinkarnasi dari liberalisme. Sebagai sebuah paham ekonomi politik, liberalisme adalah suatu ideologi yang meyakini bahwa pasar mampu mengalokasikan sumberdaya secara efisien tanpa perlu melibatkan adanya campur tangan pemerintah atau negara. Secara prinsipil paham ekonomi neoliberalisme hanyalah sebuah terminologi baru dari esensi doktrin ekonomi liberal yang akarnya dapat ditemukan sejak munculnya Kapitalisme dalam kurun waktu abad ke-18 yang digagas oleh seorang ekonom asal Skotlandia yang bernama Adam Smith. Sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa neoliberalisme pada hakikatnya adalah bentuk mutakhir dari Kapitalisme.
Kapitalisme sebagaimana yang digagas oleh Adam Smith sangat dipengaruhi oleh paham hedonisme yang dikembangkan oleh Epicurus pada masa Yunani Kuno. Individualisme yang menjadi salah satu pilar dari dari kapitalisme adalah anak turunan langsung dari paham hedonisme ini. Dalam The Wealth Of Nations Smith memandang manusia sebagai makhluk yang rakus, egoistis, dan selalu ingin mementingkan diri sendiri (Deliarnov 2007, 27, 30-31). Berdasarkan keyakinan ini, kapitalisme menganggap bahwa kebutuhan manusia itu bersifat tidak terbatas.

Karakter individualistik yang melekat dalam kapitalisme menghasilkan empat gagasan pokok, yakni: pertama, diakuinya hak milik perorangan secara luas bahkan hampir tanpa batas. Kedua, diakui adanya motif ekonomi, mengejar keuntungan secara maksimal, pada semua individu. Ketiga, adanya kebebasan untuk berkompetisi antar individu, dalam rangka peningkatan status sosial ekonomi masing-masing. Keempat, adanya mekanisme pasar yang mengatur persaingan dan kebebasan tersebut (Rizky dan Majidi 2008, 216).
Kapitalisme menilai bahwa campur tangan pemerintah hanya akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar yang mengakibatkan alokasi sumber daya menjadi tidak efisien. Adanya intervensi pemerintah paling tidak akan merugikan kepentingan salah satu diantara dua pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Dalam masalah penentuan harga misalnya, penetapan harga dibawah harga pasar akan mengakibatkan kerugian dari sisi penjual (produsen). Sedangkan penetapan harga diatas harga pasar akan mengakibatkan kerugian pada sisi pembeli (konsumen). Oleh karena itu, keadilan dalam kehidupan ekonomi sangat ditentukan oleh hilangnya campur tangan pemerintah secara total.

Dalam perkembangannya, kapitalisme klasik senantiasa mengalami perkembangan bentuk dan gagasan. Perkembangan ini tidak terlepas dari kritik yang diberikan oleh para ekonom sosialis maupun dari para pendukung kapitalisme sendiri. Pada akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20, muncul pemikiran baru yang digagas oleh para pendukung ekonomi pasar yang pemikirannya kemudian dikelompokan dalam suatu mazhab tersendiri yang kemudian dikenal sebagai mazhab neo-klasik. Akhirnya di era tahun 1980-an neoliberalisme kemudian bangkit sebagai kebijakan ekonomi politik yang diadopsi oleh pemerintahan Ronald Reagan, yang saat itu menjabat sebagai Presiden AS, dan Margaret Thatcher, yang dimasa itu menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris. Kedua tokoh inilah yang paling berjasa dalam mensosialisasikan pemikiran ekonomi neolib keseluruh dunia.

Sebelum dipopulerkan oleh kedua tokoh diatas, ide-ide neoliberalisme sebenarnya telah disistematisasi oleh seorang ekonom bernama Alexander Rustow yang kemudian disempurnakan oleh para ekonom mazhab Chicago dan mazhab Freiburger. Yang dilakukan oleh Rustow adalah ”menyempurnakan” gagasan liberalisme klasik yang pada intinya terdiri atas 3 ide pokok, yaitu, (1) pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara sempurna dipasar, (2) diakuinya kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi, dan (3) pembentukan harga barang-barang melalui mekanisme pasar yang sepenuhnya bebas. Perbedaan mendasar antara liberalisme klasik dan neoliberalisme terletak pada dosis peran negara dalam mewujudkan harga yang mencerminkan realitas pasar. Neoliberalisme meyakini bahwa pembentukan harga pasar tidak bersifat alami sebagaimana yang diyakini oleh liberalisme klasik. Campur tangan negara tetap dibutuhkan untuk mewujudkan harga ekuilibrium. Namun, campur tangan negara dalam hal ini hanya sebatas pada pembuatan undang-undang yang ditujukan untuk mewujudkan mekanisme pasar yang tidak dihalangi oleh faktor-faktor kelembagaan (seperti pranata sosial) (Rizky dan Majidi 2008, 231-232).

Menurut Revrison Baswir, peran regulasi negara dalam konteks neoliberalisme hanya meliputi : (1) pengaturan persaingan usaha untuk mencegah monopoli dan kartel ; (2) pengaturan pemungutan pajak untuk mendorong investasi dan pembagian pendapatan; (3) pengaturan ketenagakerjaan untuk menghindari terjadinya eksploitasi; dan (4) pengaturan sistem pengupahan khusunya untuk menetapkan jumlah upah minimum. Selebihnya pemerintah diharamkan untuk melakukan intervensi terhadap aktivitas perekonomian.

Sedangkan Noam Chomsky menyatakan secara ekstrim bahwa yang menjadi pendirian dari neoliberalisme adalah kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen berkembang, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastawan. Serta menyingkirkan birokrat dan ”parasit” pemerintah yang tidak akan pernah mampu bekerja secara efektif dan efisien meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neoliberal adalah, ”liberalisasikan perdagangan dan keuangan, biarkan pasar menentukan harga, akhiri inflasi, stabilisasi ekonomi makro, dan privatisasi), dan pemerintah haruslah ”menyingkir dari menghalangi jalan”. (Fakih 2003, 7).

Untuk kasus negara-negara berkembang, neoliberalisme berlangsung secara massif pada era tahun 90-an. Namun massifnya liberalisasi ekonomi di negara-negara ini lebih didorong oleh adanya suatu tekanan dari lembaga keuangan internasional yang mensyaratkan negara-negara ini (yang ingin memperoleh pinjaman dana) untuk terikat pada aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam Letter of Intent (LoI). Dikatakan sebagai tekanan karena lembaga-lembaga ini memiliki kekuasaan atas banyak hal seperti akses terhadap dana dalam jumlah yang sangat besar yang dibutuhkan oleh negara-negara ini untuk menyelesaikan krisis ekonomi di negaranya.

Paket kebijakan ekonomi yang mengatur dan mengikat negara-negara berkembang tersebut biasa disebut dengan istilah Washington Consensus. Konsep ini diprakarsai oleh John Williamson pada tahun 1989. Konsensus ini terdiri dari sepuluh butir kebijakan yang dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, disiplin fiskal (fiscal policy dicipline). Yang dimaksud dengan disiplin fiskal ialah pemerintah harus mengupayakan surplus neraca perdagangan dengan cara mengupayakan agar tingkat ekspor dapat lebih besar daripada tingkat impor. Kedua, public expenditure atau anggaran pengeluaran untuk publik. Yang dimaksudkan pada poin ini adalah keharusan dari pemerintah untuk meminimalisasi pengeluaran-pengeluaran subsidi untuk dialokasikan pada bidang lain yang lebih menjanjikan perbaikan distribusi pendapatan seperti untuk pendidikan dan kesehatan. Ketiga, pembaharuan pajak (tax reform), yakni dengan memperluas basis pemungutan pajak. Keempat, liberalisasi keuangan (interest rates), yaitu berupa penetapan terhadap suku bunga yang berdasarkan pada mekanisme pasar. Kelima, penciptaan standar nilai tukar uang yang kompetitif (tidak terlalu kuat), tetapi juga tidak terlalu lemah (competitive exchange rates). Keenam, liberalisasi perdagangan (trade liberalization), yakni dengan menghapus tiap tarif yang menjadi penghambat bagi keluar masuknya arus barang dan jasa. Ketujuh, foreign direct investment, yakni dengan menerapkan kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mungkin investasi asing langsung. Kedelapan, privatisasi (privatization of state enterprise), yakni dengan menyerahkan kepemilikan atas aset atau perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi dan ajaran (deregulation). Yakni setiap upaya yang mendorong kompetisi dengan menghilangkan aturan-aturan yang menjadi penghambat terjadinya kompetisi tersebut sekaligus membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi tiap pemain baru yang ingin masuk kedalam pasar. Dan yang kesepuluh adalah, intellectual property right, yakni berupa perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (Fakih 2003, 86-87; Prasetiantono 2006, www2.kompas.com; www.en.wikipedia.org/wiki/washington consensus).

Dalam konteks Indonesia, benih dari neoliberalisme sebenarnya sudah mulai muncul semenjak era kepemimpinan mantan presiden Soeharto pada era tahun 80-an. Namun secara radikal kebijakan ekonomi neolib mulai intensif dijalankan pada tahun 1997, sesaat pasca munculnya krisis ekonomi Asia yang saat itu juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Saat itu Indonesia mengundang IMF sebagai dokter, dengan harapan bahwa IMF akan mampu memulihkan perekonomian Indonesia dari hantaman badai krisis ekonomi. Indonesia pun menandatangani lima puluh butir LoI yang diajukan oleh IMF sebagai syarat untuk dapat memperoleh pinjaman dana. Inilah saat dimana malapetaka dimulai.

Beberapa butir isi LoI yang kontroversial adalah seperti penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom, BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang. Paling tidak sepanjang tahun 1998 terdapat dua belas BUMN yang seluruh sahamnya akan dijual oleh pemerintah (www.id.wikipedia.org/wiki/neoliberalisme; Rafick 2008, 131).
Neoliberalisme terus berlanjut hingga masa pemerintahan presiden B.J. Habibie. Pada masa pemerintahannya, Indonesia masih tak berdaya karena besarnya pengaruh asing dan tekanan dari dalam negeri sendiri. Masih kuatnya kroni Soeharto membuat pemerintahan Habibie hanya dapat ”mengulur waktu” dalam melaksanakan isi LoI. Sedangkan dimasa Gus Dur, liberalisasi dibidang ekonomi relatif lebih dapat dikendalikan. Memasuki masa pemerintahan Megawati, bau liberalisasi ekonomi kembali menyengat. Hal itu dapat dilihat dari produk undang-undang yang dihasilkan selama masa pemerintahan putri Bapak Proklamator RI ini, yang antara lain berupa, Undang-Undang Migas, Undang-Undang Kelistrikan dan, Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA). Mega juga lah yang menyerahkan pengelolaan ladang gas LNG Tangguh kepada Cina. Indosat pun diprivatisasi yang kemudian perusahaan ini dimiliki oleh Temasek, perusahaan telekomunikasi asal Singapura, dengan harga yang sangat murah. Padahal perusahaan ini memiliki prospek bisnis yang sangat bagus.

Suksesi kepemimpinan di tahun 2004 akhirnya dimenangkan oleh SBY. Namun peralihan ini sedikitpun tidak mampu merubah keadaan. Sebab pada masa ini hegemoni dari pihak asing dan bercokolnya kekuatan neolib semakin menunjukan eksistensi dirinya (Rais 2008, 192-215). Lepasnya Blok Cepu ketangan ExxonMobile merupakan bukti nyata dari realitas kebijakan ekonomi neolib yang diadopsi oleh rezim pemerintahan SBY. Harga BBM mengalami kenaikan sebanyak tiga kali pada masa ini. Bahkan di tahun 2005, BBM mengalami kenaikan sebesar 160% dari harga sebelumnya. Selain itu juga, pengesahan UU No. 25/2007 (mengenai penanaman modal asing) telah berdampak pada terbukanya pintu masuk bagi para investor asing yang ingin merampok kekayaan alam Indonesia. Fakta ini semakin menguatkan keyakinan kita bahwa neoliberalisme adalah ideologi ekonomi yang diusung oleh rezim pemerintahan SBY.

Walhasil liberalisasi ekonomi tidak pernah memiliki dampak yang positif bagi perekonomian negara-negara berkembang. Tak terkecuali dengan Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dipublish dalam world development report, Indonesia terkategori sebagai negara miskin, dimana 27% dari total penduduknya yang berjumlah 223 juta jiwa merupakan penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Ini pada tahun 1999. Sedangkan pada tahun 2002, tingkat kemiskinan rakyat Indonesia dengan indikator pendapatan $2 per hari ialah berjumlah 52,4 juta jiwa. Selain itu juga, berdasarkan sebuah laporan yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada tahun 2007, persentase tingkat kemiskinan di Indonesia ialah sebesar 49% dari total jumlah penduduk (Rizky dan Majidi 2008, 196, 257).

Bagaimanakah kita dapat menjelaskan kaitan antara liberalisasi ekonomi dengan pesatnya jumlah angka kemiskinan?. Dalam suatu perekonomian dimana campur tangan pemerintah sangat minim, maka kaidah yang berlaku dalam situasi seperti ini adalah kaidah hukum rimba, artinya pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal akan melindas pihak-pihak yang lemah.
Inilah yang dalam terminologi ekonomi seringkali disebut sebagai bentuk keefisienan. Akibatnya sumberdaya dan kekayaan hanya dikuasai oleh sekelompok kecil lapisan masyarakat. Dimasa orde baru misalnya, 61% dari total PDB hanya dihasilkan oleh 0,2% kelompok pengusaha. Sedangkan sisa yang 39% dihasilkan oleh 99,8% kelompok pengusaha kecil dan menengah (Rafick 2008, 251). Untuk saat ini, perekonomian Indonesia hanya dikendalikan oleh 400 keluarga, dimana mereka menguasai 65% dari pergerakan ekonomi nasional (www.bisnis.vivanews.com).

Dengan ketimpangan struktur ekonomi yang semacam ini, maka dapat dipastikan bahwa kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan dalam konteks neoliberalisme adalah merupakan sebuah keniscayaan. Inilah yang sering kali disebut oleh Hizb sebagai persoalan distribusi. Dimana hal ini merupakan sebuah cerminan dari tidak adanya suatu regulasi dan konsep kepemilikan yang memadai untuk menjamin terciptanya pemerataan sumber daya ekonomi kepada seluruh warga negara. Segala sesuatunya selalu bersifat bebas untuk dimiliki oleh individu.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sistem ekonomi neolib menganut asas kebebasan dalam kepemilikan. Sehingga tak ada satu sektor ekonomi pun yang harus dilindungi dan dikelola oleh negara.
Pada tataran implementasi, gagasan ini termanifestasi dalam program-program privatisasi. Badan usaha atau sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan kepada pihak swasta baik itu domestik maupun asing. Selama sistem ekonomi yang semacam ini masih tetap dipertahankan maka cita-cita kesejahteraan hanya akan menjadi sebuah ilusi.

EKONOMI KERAKYATAN
Menurut HS.Dillon ekonomi kerakyatan adalah suatu sistem ekonomi yang memihak kepada kepentingan ekonomi sebagian besar rakyat secara adil, manusiawi, dan demokratis (Rafick 2008, 252). Sedangkan menurut Hutomo ekonomi kerakyatan adalah tatanan ekonomi dimana aset ekonomi dalam perekonomian nasional didistribusian kepada sebanyak-banyaknya warga negara . Melalui dua definisi diatas kita dapat membuat suatu sintesa tentang definisi ekonomi kerakyatan sebagai sebuah sistem ekonomi yang memberdayakan sebagaian besar struktur dunia usaha melalui redistribusi sumberdaya ekonomi kepada rakyat.

Munculnya gagasan ekonomi kerakyatan ini tidak lain merupakan reaksi dari kegagalan sistem ekonomi pasar dalam memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada segenap rakyatnya. Artinya, ekonomi kerakyatan hanyalah salah satu upaya untuk menambal sulam kelemahan yang ada dalam sistem ekonomi pasar. Ditinjau dari segi seberapa besar dosis campur tangan pemerintah terhadap perekonomian, ekonomi kerakyatan lebih memberi ruang yang luas bagi pemerintah untuk mengatur dan mengelola tata perekonomian nasional. Dengan kata lain pemerintah merupakan pihak yang harus berperan agar mekanisme pasar dapat berjalan secara lebih sempurna.

Adapun cara-cara yang dilakukan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan sistem ekonomi kerakyatan adalah dengan jalan menggunakan instrumen kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan di sektor riil.

Dalam bidang moneter pemerintah harus menjamin kemudahan akses modal bagi kelompok usaha kecil dan menengah melalui perolehan dana pinjaman dari Bank. Kebijakan ini diwujudkan bukan dengan cara mensubsidi tingkat suku bunga kredit, melainkan dengan cara memberikan jaminan atau garansi kepada bank yang diberikan oleh pemerintah.
Dalam bidang fiskal, upaya pemerintah untuk mendorong produktivitas kelompok usaha kecil dan menengah dilakukan dengan cara mengalokasikan anggaran belanja negara untuk penjaminan kredit unit produksi rakyat. Selain itu, pemerintah juga memberikan keringanan pajak bagi kelompok usaha kecil dan menengah yang ingin bergabung dalam unit produksi rakyat.

Untuk kebijakan di sektor riil, bidang-bidang kebijakan yang harus dibuat oleh pemerintah meliputi kebijakan dalam bidang upah, kebijakan dalam bidang pertanian, kebijakan perdagangan dan kebijakan kehutanan dan pertambangan. Dalam bidang pengupahan, pemerintah harus menjamin kualitas tenaga kerja dan sekaligus membuka lapangan kerja baru. Sedangkan disektor pertanian, kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah dengan melakukan merger (penggabungan) antar unit usaha pertanian guna membangun kekuatan melawan monopoli yang ada di pasar input dan monopsoni di pasar output.
Dibidang perdagangan pemerintah harus melakukan peninjauan terhadap struktur pemilikan saham di distributor dan retail besar. Intinya adalah, sebanyak banyaknya warga negara harus memiliki saham disektor perdagangan. Bentuknya adalah, retail-rertail kecil harus membentuk koperasi. Melalui koperasi ini, retail-retail kecil memiliki saham di retail besar dan di distributor. Dalam bidang kehutanan dan pertambangan, pemerintah tidak harus ”mengusir” pelaku usaha swasta dari pengelolaan sumber daya alam. Yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah melibatkan partisipasi dan kerjasama masyarakat lokal dengan perusahaan swasta dalam rangka pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Yang perlu dicatat adalah semua bentuk kebijakan yang telah diuraikan diatas dapat berbeda antar sesama pendukung gagasan ekonomi kerakyatan. Sebab yang menjadi substansi dari gagasan ini adalah pemberdayaan sebagaian besar masyarakat kecil dan menengah. Jadi model kebijakan dalam sistem ekonomi kerakyatan masih bersifat relatif dan tidak permanen.

Dibanding dengan sistem ekonomi neolib, kita akan sedikit mengalami kesulitan dalam hal mengajukan kritik terhadap gagasan sistem ekonomi kerakyatan. Sebab gagasan ini pada faktanya belum pernah diterapkan oleh rezim pemerintahan manapun. Sehingga kritik yang akan kita berikan pada sistem ekonomi kerakyatan ini adalah bersifat analitis dan asumtif. Begitupun pada tataran filosofis, kita tidak akan menemukan gagasan-gagasan mendasar seputar pandangan ekonomi kerakyatan terhadap bagimana perilaku manusia, ekonomi dan masyarakat. Sehingga terkesan bahwa sistem ekonomi kerakyatan ini hanyalah sekedar sebuah pemikiran praktis yang masih kabur. Mungkin karena faktor inilah yang menyebabkan ekonom Faisal Basri pernah menyatakan dalam harian Kompas bahwa ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah sistem ekonomi politik baru, melainkan hanya sebuah pilihan kebijakan.

Pada hakikatnya gagasan mengenai ekonomi kerakyatan belum dapat sepenuhnya keluar dari pakem logika ekonomi pasar. Instrumen-instrumen perekonomian yang juga telah sekian lama menjadi simbol dari kapitalisme seperti tingkat suku bunga, fiat money dan sektor ekonomi non riil masih tetap dipertahankan. Eksistensi dari semua itu tetap akan menjadi sebuah ancaman bagi kehidupan ekonomi suatu negara. Jika kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan distribusi sumber daya relatif dapat ditanggulangi dalam sistem ekonomi kerakyatan, maka kemiskinan yang disebabkan oleh resiko inflasi mata uang dan spekulasi pada sektor non-rill masih tetap terbuka untuk senantiasa muncul sebagai penyebab krisis dan kemiskinan. Dengan kata lain, sistem ekonomi kerakyatan hanya menutup salah satu pintu diantara sekian banyak pintu yang menjadi penyebab dari persoalan krisis ekonomi dan kemiskinan.


Ekonomi Politik menurut Ilchman-Uphoff adalah “an integrated social science of public choice “, dan juga ekonomi politik merupakan keseluruhan semua usaha-usaha, perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah yang bertujuan untuk mengatur, mempengaruhi atau langsung menetapkan jalannya kejadian-kejadian kehidupan ekonomi secara langsung dengan satu atau banyak cara.
Bahwasanya ekonomi politik pada negara-negara yang baru berkembang dan politik ekonomi yang dijalankan pada negara-negara yang ekonomis maju agak berbeda, hal ini tergantung daripada sasaran-sasaran apa yang akan diberikan prioritas. Begitu pula tidak pernah ada kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, dalam negeri, ataupun usaha-usaha pengembang hukum yang lepas dari persoalan pembiayaan, dalam bentuk apapun ada hubungannya dengan cara manusia berekonomi, juga dengan adanya tindakan-tinadakan terutama demi peraturan atau demi pengaruh dari kejadian-kejadian ekonomi dalam negeri, luar negeri atau tambahan pengaruh poitik kebudayaan atau aspek-aspek hukum yang harus betul-betul diperhatikan. Bahwasanya ekonomi poitik dapat ditujukan kearah : Pertama, memperbaiki keadaan moneter suatu negara, Kedua, Mengusahakan untuk memperbanyak invesatasi di dalam negeri. Ketiga, mematahkan posisi-posisi monopoli pihak swasta yang merugikan. Kelima, mengusahakan agar “diperbaiki” neraca pembayaran yang memburuk dan sebagainya. dikarenakan didalam politik dibahas penerapan kekuasaan atau wewenang dan persaingan untuk memperolehnya dalam suatu komunitas. Dan ekonomi membahas alokasi dan pertukaran sumber daya ekonomi maupun politik yang langka.
2. Beberapa perspektif Ekonomi Politik :
a. Perspektif Liberal, Tujuan adalah pertumbuhan dalam konteks ekonomi dunia. Peran negara dalam hal ini sebagai bersifat sekunder, jaminan keamanan dan infrastruktur. Sifat sistem internasional adalah menguntungkan semua pihak berdasarkan pertimbangan “Comparatif Advantage”. Beberapa hambatan terhadap pencapaian tujuan : Pertama, Kultural yakni budaya korupsi, serta kemampuan manajemen rendah. Kedua, Hambatan struktural yakni kurang mampu menyesuaikan ekonomi nasional dengan kebutuhan pasar internasional.
Resep yang coba ditawarkan yakni melalui Integrasi dengan sistem internasional.
Kelemahan : menekankan aspek-aspek individu dalam proses pembangunan. Dimana setiap individu diberikan kebebasan untuk melakukan tindakan ekonomi dan bebas untuk menindas pihak yang lemah di dalam persaingan ekonomi global tanpa ada campur tangan dari pemerintah.
b. Perspektif Marxis, Tujuan dari perspektif Marxis ini adalah mencapai Pertumbuhan, pemerataan dan otonomi nasional. Disini peran negara bersifat primer dan bertindak sebagai wiraswasta atau pengelola ekonomi. Sifat sistem internasional cenderung merugikan si lemah. Hambatan yang dihadapi adalah kendala struktural yakni adanya dominasi kelas borjuis. Perspektif Marxis mengajarkan untuk menghindarkan diri dari sistem kapitalis internasional.
Kelemahan : negara memiliki kekuasaan mutlak untuk memaksakan kehendaknya terhadap warganya, dimana negara menentukan secara paksa tentang faktor produksi apa yang harus dipunyai serta hasil-hasil produksi apa yang harus dihasilkan. Sehingga individu tidak memilki kreativitas dalam melakukan kegiatan usahanya.
c. Perspektif Neo-Marxis/ Depedencia , Bertujuan untuk mengupayakan pertumbuhan, pemerataan dan juga otonomi nasional. Peran negara dalam perspektif Neo Marxis ini bersifat primer, dan usaha ditujukan untuk menghadapi kapitalis dunia. Sifat dari sistem internasional lebih cenderung merugikan si lemah. Hambatan yang dihadapi dalam pencapaian tujuan ialah hambatan struktural dimana kapitalisme internasional dituduh sebagai penyebab kemerosotan Dunia Ketiga. Jalur yang harus ditempuh dalam mencapai tujuan menurut perspektif ini adalah dengan mengadakan suatu revolusi menentang sistem kapitalis internasional.
Kelemahan : terjadi ketergantugan antara negara yang kuat (leading sector) dengan negara yang miskin (legging sectors) dimana perspektif ini cenderung untuk berfokus pada masalah pusat dan modal internasional sebagai penyebab kemiskinan dan keterbelakangan, daripada masalah pembentukan klas-klas lokal.
d. Perspektif Non Marxis / Depedencia, Dalam hal ini tujuan yang ingin dicapai serta peranan negara dalam perspektif ini tidak berbeda dengan perspektif Neo Marxis. Begitu pula dengan sifat sistem internasional yang diterapkan serta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pencapaian tujuan adalah sama dengan yang dihadapi para penganut perspektif Neo Marxis. Akan tetapi dalam perspektif Non Marxis mereka mencoba menawarkan hal baru dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai yakni dengan cara mempersiapkan kelompok kepentingan pembela rakyat lapisan bawah di tingkat nasional.
Kelemahan : mengabaikan produktivitas tenaga kerja sebagai titik sentral dalam pembangunan ekonomi nasional dan juga perspektif ini dirasa statis, karena tidak mampu menjelaskan dan memperhitungkan perubahan-perubahan ekonomi di negara-negara terbelakang menurut waktu dan perubahannya.
e. Perspektif Tata Ekonomi Internasional Baru, dalam perspektif ini tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan dalam konteks kerjasama internasional dan juga pemerataan. Peranan negara bersifat primer dimana negara bertindak sebagai aktor dalam posisi “bargaining” dengan negara-negara Utara. Sifat sistem internasional cenderung merugikan si lemah akan tetapi hal ini bisa direformasi sehingga dapat menguntungkan semua pihak. Hambatan yang harus dihadapi di bidang struktural adalah sistem ekonomi dunia yang timpang merugikan Dunia Ketiga. Upaya yang dicoba dilakukan dan ditawarkan dalam upaya mencapai tujuan adalah dengan mengadakan “dialog” Utara-Selatan untuk reformasi sistem internasional.
Kelemahan : usaha mengejar ketimpangan negara-negara dunia ketiga terhadap negara-negara Utara semakin sulit dilakukan dikarenakan posisi bargaining yang dimiliki negara-negara berkembang sangat lemah. Oleh karena itu diperlukan upaya menjembatani ketimpangan terebut dengan mengadakan dialog Utara Selatan untuk reformasi sistem internasional.
f. Perspektif Kebutuhan Dasar, Dalam perspektif ini tujuan yang ingin dicapai adalah pemerataan dengan sasaran 60% lapisan masyarakat paling bawah. Negara dalam perspektif ini bersifat primer dimana negara bertindak sebagai promotor reformasi struktur sosial ekonomi. Yang masih menjadi tanda tanya adalah sifat sistem internasional yang ingin diterapkan. Hambatan terhadap pencapaian tujuan adalah kendala struktural yakni struktural kelas domestik anti pemerataan. Dalam perspektif ini mengajarkan bahwa dalam mencapai tujuan diperlukan langkah penggunaan perundang-undangan dan tindakan nyata lain untuk merubah strategi ke arah pemerataan pembangunan.
Kelemahan : aspek-aspek yang dipergunakan dalam rangka mencapai pemerataan ekonomi berimbas pada tingkat pertumbuhan itu sendiri. Dimana hasil-hasil pembangunan tidak dapat langsung menaikkan secara drastis pertumbuhan ekonomi sehingga dirasa cukup lambat.
3. Bahwasanya menurut hasil pengamatan dan analisa saya, saat ini pemerintah Indonesia dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung menggunakan perspektif Tata Ekonomi Internasional Baru. Hal ini dapat dilihat dari masa awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya di bidang ekonomi dalam rangka usaha menjalankan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi dengan memberikan dorongan kepada sektor usaha-usaha ekonomi rakyat yang sering disebut usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Presiden menberuikan kemudahan usaha dan pemebrian kredit lunak bagi para pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya. Dan hal ini membuahkan hasil, ketika Indonesia dilanda krisis yang membuat pertumbuhan ekonomi merosot -13,7% (1998), padahal tahun sebelumnya tumbuh +4,9%. Dengan kata lain, dalam satu tahun ekonomi Indonesia anjlok -18,6%. Namun dua tahun kemudian, ekonomi nasional telah tumbuh 4,8% (Seda, 2002). Anehnya, pada masa itu sedang terjadi capital flight sekitar $ 10 miliar per tahun, usaha-usaha besar ambruk, sedangkan investasi asing tak mau masuk akibat situasi sosial politik yang belum menentu. Akan tetapi unit usaha UMKM sebagai “investasi ekonomi rakyat” mampu memberikan ketahanan uji dalam menghadapi krisis yang melanda.
Sehingga sektor UMKM (underground economy) mampu mnyelamatkan Indonesia dari keterpurukan krisis.
Dalam upaya mengejar langkah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah di tanah air, pemerintah perlu untuk meningkatkan upaya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi wilayah indonesia bagian timur agar tingkat pertumbuhan dapat sejajar dengan wilayah indonesia bagian barat atau paling tidak sedikit berada satu strip dibawahnya sehingga mampu berkembang secara bersama-sama. Pemerintahan SBY membentuk departemen khusus dalam pemerintahan yang menangani bidang akselerasi atau percepatan pembangunan wilayah indonesia bagian timur.Di bidang politik luar negeri, pemerintah berupaya meningkatkan posisi tawar-menawar (bargaining) bangsa ini atas dominasi negara-negara utara atau negara-negara maju terhadap negara-negara dunia Ketiga atau negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam hal ini, negara-negara berkembang membentuk suatu kesepakatan atau perjanjian yang dikenal dengan kelompok negara G77 yang dimaksudkan
untuk membentuk keseragaman langkah dan gerak dalam menghadapi dominasi negara-negara Utara.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar